Soal Politik Dinasti Masih Tarik Ulur
Diskursus soal politik dinasti yang berkembang di daerah menjadi pembicaraan menarik. Perlu tidaknya memotong dinasti yang sedang berkuasa di daerah, masih menjadi pro-kontra antara yang mendukung dan tidak mendukung. Tarik-ulur masih terjadi di level wacana. Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranowo, sebelum Rapat Paripurna DPR, Selasa (19/3).
Saat ini Pansus DPR sedang membahas paket RUU Politik, di antaranya soal Pilkada. “Masih tarik ulur saja antara yang setuju dan tidak. Mungkin yang perlu dipertimbangkan ketika kemudian dinastinya itu, berada pada kandidat yang tidak kompeten. Ya pada saat itu publik pasti akan melihat bahwa dinasti keliru. Tapi, ketika dinasti berada pada orang yang berkompeten dan tidak boleh memimpin, maka publik akan nyesel itu. Maka, dua dilema ini belum bisa disatukan dalam satu rumusan,” ungkap Ganjar.
Menurut Anggota F-PDI Perjuangan ini, perlu ada pendidikan politik bagi masyarakat agar mampu menilai kandidat pemimpinnya dengan baik. Ketika politik dinasti mulai terlihat, masyarakat harus segera meresponnya, apakah kandidat kepala daerahnya berkompeten atau tidak. Bila tidak berkompeten, masyarakat pula yang harus membuat gerakan untuk tidak memilih.
Namun demikian, Ganjar berpendapat, masih dilematis memotong periode politik dinasti dalam wacana pembahasan RUU Pilkada tersebut. “Kalau kemudian mereka punya kompetensi yang bagus bagaimana? Bagaimana cara memotongnya?” Dia mencontohkan, bagaimana anak Habibie harus ditarik statusnya dari PNS, padahal Ilham Habibie ketika itu sangat berkompeten meneruskan kinerja bapaknya dalam bidang penerapan teknologi dirgantara di Indonesia.
Di tingkat internasional ada contoh Bill Clinton ke Hillary Clinton atau keluarga Kennedy yang berpolitik di Amerika. Melihat realitas tersebut, Ganjar khawatir ada pelanggaran konstitusi di balik pelarangan politik dinasti sepanjang kandidat yang diajukan berkompeten.
“Maka, sebenarnya masalah dinasti atau tidak dinasti, partai mesti melakukan pendidikan politik dulu. Sehingga siapa pun yang akan dicalonkan untuk didudukkan, apakah dinasti atau tidak, mereka harus punya kapasitas yang cukup,” jelas Ganjar. Berbeda halnya bila kandidat yang diajukan lewat mekanisme perorangan. Walau pun tetap ada hubungan dinasti, maka itu tanggung jawab individual, bukan publik lagi.
Saat ini kencenderungan yang berkembang di internal Panja Pilkada, lanjut Ganjar, komposisinya lebih banyak yang tidak setuju persoalan dinasti diatur dalam Pilkada. Kalau pun hal ini mau diatur, sebaiknya pada sistem penyiapan kader. Misalnya, setiap calon bupati atau wakil bupati harus lolos dari proses kaderisasi itu. Minimal dia harus sekian tahun di partai tertentu. Dan sejauh ini pembahasannya belum mengerucut pada pilihan politik semacam itu. (mh)foto:wy/parle